website lpmp

Senin, 27 Agustus 2012

PERENIALISME


BAB I
PENDAHULUAN

1.      Latar Belakang Masalah
Di zaman kehidupan modern ini banyak menimbulkan krisis diberbagai bidang kehidupan manusia, terutama dalam bidang pendidikan. Untuk mengembalikan keadaan krisis ini, maka perenialisme memberikan jalan keluar yaitu berupa kembali kepada kebudayaan masa lampau yang dianggap cukup ideal dan teruji ketangguhannya. Untuk itulah pendidikan harus lebih banyak mengarahkan pusat perhatiannya kepada kebudayaan ideal yang telah teruji dan tangguh. Perenialisme memandang pendidikan harus lebih banyak mengarahkan pusat perhatiannya kepada kebudayaan ideal yang telah teruji dan tangguh. Dengan kata lain pendidikan yang ada sekarang ini perlu kembali kepada masa lampau, karena dengan mengembalikan keadaan masa lampau ini, kebudayaan yang dianggap krisis ini dapat teratasi melalui perenialisme karena ia dapat mengarahkan pusat perhatiannya pada pendidikan zaman dahulu dengan sekarang.
Perenialisme mcmandang pendidikan itu sebagai jalan kembali yaitu sebagai suatu proses mengembalikan kebudayaan sekarang (zaman modern) in terutama pendidikan zaman sekarang ini perlu dikembalikan kemasa lampau.
Perenialisme merupakan aliran filsafat yang susunannya mempunyai kesatuan, dimana susunannya itu merupakan hasil pikiran yang memberikan kemungkinan bagi seseorang untuk bersikap yang tegas dan lurus. Karena itulah perenialisme berpendapat bahwa mencari dan menemukan arah tujuan yang jelas merupakan tugas yang utama dari filsafat khususnya filsafat pendidikan. 
Setelah perenialisme menjadi terdesak karena perkembangan politik industri yang cukup berat timbulah usaha untuk bangkit kembali, dan perenialisme berharap agar manusia kini dapat memahami ide dan cita filsafatnya yang menganggap filsafat sebagai suatu asas yang komprehensif Perenialisme dalam makna filsafat sebagai satu pandangan hidup yang bcrdasarkan pada sumber kebudayaan dan hasil-hasilnya.

2.      Rumusan Masalah
a.       Apakah yang dimaksud dengan perenialisme dan siapakah tokoh-tokohnya?
b.      Bagimanakah prinsip-prinsip pendidikan perenialisme?
c.       Aliran-aliran apa saja yang ada dalam perenialisme?
d.      Bagaimakah pandangan perenialisme mengenai kenyataan, nilai, pengetahuan, pendidikan, dan belajar?
e.       Bagaimanakah pandangan perenialisme dalam penerapannya di bidang pendidikan?

BAB II
PEMBAHASAN

Perenialisme berasal dan kata perenial yang diartikan sebagai continuing througbout the whole year atau lasting for a very long time (abadi atau kekal dan dapat berarti pula tiada akhir. Esensi kepercayaan filsafat perenialisme adalah berpegang pada nilai-nilai atau norma-norma yang bersifat abadi. Aliran ini mengambil analogi realita sosial budaya manusia, seperti realita sepohon bunga yang terus menerus mekar dari musim ke musim, datang dan pergi, berubah warna secara tetap sepanjang masa, dengan gejala yang terus ada dan sama. Jika gejala dari musim ke musim itu dihubungkan satu dengan yang lainnya seolah-olah merupakan benang dengan corak warna yang khas, dan terus menerus sama.
Perenialisme memandang bahwa kepercayaan-kepercayaan aksiomatis zaman kuno dan abad pertengahan perlu dijadikan dasar penyusunan konsep filsafat dan pendidikan zaman sekarang. Sikap ini bukanlah nostalgia (rindu akan hal-hal yang sudah lampau semata-mata) tetapi telah berdasarkan keyakinan bahwa kepercayaan-kepercayaan tersebut berguna bagi abad sekarang. Jadi sikap untuk kembali kemasa Iampau itu merupakan konsep bagi perenialisme di mana pendidikan yang ada sekarang ini perlu kembali kemasa lampau dengan berdasarkan keyakinan bahwa kepercayaan itu berguna bagi abad sekarang ini.
Perenialisme mempunyai ciri-ciri tertentu. Adapun ciri-ciri itu adalah (Sadullah Uyoh,2004: 23) :
a.       Perenialisme berakar pada tradisi filosofis klasik yang dikembangkan oleh plato, Aristoteles dan Santo Thomas Aquines.
b.      Sasaran pendidikan ialah kemampuan menguasai prinsip kenyataan, kebenaran dan nilai-nilai abadi dalam arti tak terikat oleh ruang dan waktu.
c.       Nilai bersifat tak berubah dan universal.
d.      Bersifat regresif (mundur) dengan memulihkan kekacauan saat ini melalui nilai zaman pertengahan (renaissance). 
Filsafat perenialisme terkenal dengan bahasa latinnya Philosophia Perenis. Pendiri utama dari aliran filsafat ini adalah Aristoteles sendiri, kemudian didukung dan dilanjutkan oleh St. Thomas Aquinas sebagai pemburu dan reformer utama dalam abad ke-13. Perenialisme memandang bahwa kepercayaan-kepercayaan aksiomatis zaman kuno dan abad pertengahan perlu dijadikan dasar penyusunan konsep filsafat dan pendidikan zaman sekarang. Sikap ini bukanlah nostalgia (rindu akan hal-hal yang sudah lampau semata-mata) tetapi telah berdasarkan keyakinan bahwa kepercayaan-kepercayaan tersebut berguna bagi abad sekarang. Jadi sikap untuk kembali kemasa Iampau itu merupakan konsep bagi perenialisme di mana pendidikan yang ada sekarang ini perlu kembali kemasa lampau dengan berdasarkan keyakinan bahwa kepercayaan itu berguna bagi abad sekarang ini (Jalaludin, 1997: 19)
Asas-asas filsafat perenialisme bersumber pada filsafat, kebudayaan yang mempunyai dua sayap, yaitu perenialisme yang theologis yang ada dalam pengayoman supermasi gereja Katholik, khususnya menurut ajaran dan interpretasi Thomas Aquinas, dan perenialisme sekular yakni yang berpegang kepada ide dan cita filosofis Plato dan Aristoteles. Pendapat di atas sejalan dengan apa yang dikemukakan H.B Hamdani Ali dalam bukunya filsafat pendidikan, bahwa Aristoteles sebagai mengembangkan philosophia perenis, yang sejauh mana seseorang dapat menelusuri jalan pemikiran manusia itu sendiri. ST. Thomas Aquinas telah mengadakan beberapa perubahan sesuai dengan tuntunan agama Kristen tatkala agama itu datang. Kemudian lahir apa yang dikenal dengan nama Neo-Thomisme. Tatkala Neo-Thomisme masih dalam bentuk awam maupun dalam paham gerejawi sampai ke tingkat kebijaksanaan, maka ia terkenal dengan nama perenialisme. Pandangan-pandangan Thomas Aquinas di atas berpengaruh besar dalam lingkungan gereja Katholik.
Neo-Scholastisisme atau Neo-Thomisme ini berusaha untuk menyesuaikan ajaran-ajaran Thomas Aquinas dengan tuntutan abad ke dua puluh. Misalnya mengenai perkembangan ilmu pengetahuan cukup dimengerti dan disadari adanya. Namun semua yang bersendikan empirik dan eksprimentasi hanya dipandang sebagai pengetahuan yang fenomenal, maka metafisika mempunyai kedudukan yang lebih penting. Mengenai manusia di kemukakan bahwa hakikat pengertiannya adalah di tekankan pada sifat spiritualnya. Simbol dari sifat ini terletak pada peranan akal yang karenanya manusia dapat mengerti dan memahami kebenaran-kebenaran yang fenomenal maupun yang bersendikan religi (Bernadib, 2002: 64-65).
2.      Prinsip-prinsip pendidikan perenialisme adalah sebagai berikut:
  1. Walaupun perbedaan lingkungan, namun pada hakikatnya manusia dimana pun dan kapan pun ia berada adalah sama. Robert M. Hutckin sebagai pelopor perenialisme di Amerika Serikat, mengemukakan bahwa manusia pada hakikatnya adalah hewan rasional (ini adalah pandangan Aritoteles). Tujuan pendidikan adalah sama dengan tujuan hidup, yaitu untuk mencapai kebajikan dan kebajikan. Pendidikan harus sama bagi semua orang, dimana pun dan kapan pun ia berada, begitu pula tujuan pedidikan harus sama, yaitu memperbaiki manusia sebagai manusia. Hal diatas dikemukakan oleh Hutckin sebagai berikut : “Man may very from society to society,…..but the function of man, is the same in every age and every socienty, since it results from his nature as a man. The aims of educational system can exist : it is to improve man as man”.
  2. Rasio merupakan atribut  manusia yang paling tinggi. Manusia harus menggunakannya untuk mengarahkan sifat bawaannya, sesui dengan tujuan yang ditentukan. Manusia adalah bebas, namun mereka harus belajar, untuk memperhalus pikiran dan mengontrol pikirannya. Apabila anak gagal dalam belajar, guru tidak boleh dengan cepat meletakan kesalahan pada lingkungan yang tidak menyenangkan. Guru harus mampu meengatasi semua gangguan tersebut, dengan melakukan pendekatan secara intelektual yang sama bagi semua siswa. Tidak ada anak yang diizinkan untuk menentukan pengalaman pendidikannya yang ia inginkan.
  3. Tugas pendidikan adalah memberikan pengetahuan tentang kebenaran yang pasti, dan abadi. Kurikulum diorganisasi dan ditentukan  terlebih dahulu oleh orang dewasa, dan ditunjukan untuk melatih aktivitas akal, untuk mengembangkan akal. Anak harus diberi pelajaran yang pasti, yang akan memperkenalkannya dengan keabadian dunia. Anak tidak boleh dipaksa untuk mempelari pelajaran yang tampaknya penting suatu saat saja. Begitu pula kepada anak jangan memberikan pelajaran yang hanya menarik pada saat-saat tertentu yang khusus. Yang dipentingkan dalam kurikulum adalah mata pelajaran “general education”, yang meliputi bahasa, sejarah, matematika, IPA, filsafat dan seni, dan 3 Rs (membaca, menulis, berhitung). Mata-mata pelajaran tersebut merupakan esensi dari general education.  
  4. Pendidikan bukan merupakan peniruan dari hidup, melainkan merupakan suatu persiapan untuk hidup. Sekolah tidak pernah menjadi situasi kehidupan yang nyata. Sekolah bagi anak merupakan peraturan-peraturan yang artifisial di mana ia berkenalan dengan hasil yang terbaik dari warisan sosial budaya.
  5. Siswa seharusnya mempelajari karya-karya besar dalam literatur yang menyangkut sejarah, filsafat, seni, begitu juga dalam literatur yang berhubungan dengan kehuidupan sosial, terutama politik dan ekonomi. Dalam literatur-literatur tersebut manusia sepanjang masa telah melahirkan hasil yang maha besar.
3.      Aliran-aliran yang ada dalam perenialisme
  1. Perenialisme sekular yang berpegang kepada ide dan cita-cita filosofis Plato dan Aristoteles, yaitu tentang sejauh mana seseorang dapat menelusuri jalan pemikiran manusia itu sendiri.
  2. Perenialisme theologis sebagai pengayoman supremasi gereja Katholik, khususnya menurut ajaran dan interpretasi Thomas Aquinas di abad ke-13.
Dari aliran ini, kaum perenialis modern merefleksikan keimanannya terhadap Tuhan (yang tak bernama) dengan memperbesar cinta kemanusiaan (humanisme), menegakkan demokrasi, dan memperjuangkan tegaknya HAM.
Kaum perenialis modern adalah orang-orang yang bekerja keras dengan mengedepankan profesionalisme untuk mempertinggi kualitas hidup manusia. Bagi kaum perenialis modern, bekerja untuk mewujudkan cita-cita (tegaknya humanisme, demokrasi, dan HAM) adalah sebuah keniscayaan dalam mem-bentuk dunia baru yang damai dan sejahtera. Tanpa adanya kemakmuran ekonomi, intelektualitas, dan kedewasaan kultural, perenialisme modern tidak akan berkembang. Dengan demikian, demokrasi dan HAM merupakan tujuan utama gerakan perenialisme. Karena itu, jika pun akan lahir agama baru dari rahim perenialisme modern, agama baru itu niscaya akan mengusung demo-krasi dan HAM sebagai basis keimanannya. Lebih jauh lagi, agama baru di masa datang tersebut haruslah agama yang mengedepankan prinsip-prinsip keimanan untuk menyelamatkan bumi dari kehancuran. Karena itu, basis keimanan agama masa depan adalah kesadaran manusia terhadap pentingnya penegakan demokrasi, HAM, dan perbaikan lingkungan hidup.
4.      Pandangan perenialisme mengenai kenyataan, nilai, pengetahuan, pendidikan, dan belajar
  1. Pandangan perenialisme mengenai kenyataan
Perenialisme berpendapat bahwa apa yang dibutuhkan manusia terutama ialah jaminan bahwa realita itu bersifat universal dan ada di mana saja dan sama di setiap waktu.Dengan keputusan yang bersifat ontologism kita akan sampai pada pengertian pengerian hakikat. Ontologi perenialisme berisikan pengertian: benda individual, esensi, aksiden dan substansi. Benda individual adalah benda yang sebagaimana nampak di hadapan manusia yang dapat ditangkap oleh indera kita seperti batu, kayu, dan lain-lain.

Esensi dari sesuatu adalah suatu kualitas tertentu yang menjadikan benda itu lebih baik intrinsik daripada halnya, misalnya manusia ditinjau dari esensinya adalah berpikir Aksiden adalah keadaan khusus yang dapat berubah-ubah dan sifatnya kurang penting dibandingkan dengan esensialnya, misalnya orang suka barang-barang antik. Substansi adalah suatu kesatuan dari tiap-tiap hal individu dari yang khas dan yang universal, yang material dan yang spiritual.
Menurut Plato, perjalanan suatu benda dalam fisika menerangkan ada 4 kausa, yaitu:
1)      Kausa materialis yaitu bahan yang menjadi susunan sesuatu benda misalnya telor, tepung dan gula untuk roti.
2)      Kausa formalis yaitu sesuatu dipandang dari formnya, bentuknya atau modelnya, misalnya bulat, gepeng.
3)      Kausa efisien yaitu gerakan yang digunakan dalam pembuatan sesuatu cepat, lambat atau tergesa-gesa.
4)      Kausa finalis adalah tujuan atau akhir dari sesuatu. Katakanlah tujuan pembuatan sebuah patung.
  1. Pandangan Mengenai Nilai
Perenialisme berpandangan bahwa persoalan nilai adalah persoalan spiritual, sebab hakikat manusia adalah pada jiwanya. Sedangkan perbuatan manusia merupakan pancaran isi jiwanya yang berasal dari dan dipimpin oleh Tuhan. Secara teologis, manusia perlu mencapai kebaikan tertinggi, yaitu nilai yang merupakan suatu kesatuan dengan Tuhan. Untuk dapat sampai kesana manusia harus berusaha dengan bantuan akal rationya yang berarti mengandung nilai kepraktisan.
Menurut Aristoteles, kebajikan dapat dibedakan: yaitu yang moral dan yang intelektual. Kebajikan moral adalah kebajikan yang merupakan pembentukan kebiasaan, yang merupakan dasar dari kebajikan intelektual.
Jadi, kebajikan intelektual dibentuk oleh pendidikan dan pengajaran. Kebajikan intelektual didasari oleh pertimbangan dan pengawasan akal. Oleh perenialisme estetika digolongkan kedalam filsafat praktis. Kesenian sebagai salah satu sumber kenikmatan keindahan adalah suatu kebajikan intelektual yang bersifat praktis filosofis. Hal ini berarti bahwa di dalam mempersoalkan masalah keindahan harus berakar pada dasar-dasar teologis, ketuhanan.
  1. Pandangan Mengenai Pengetahuan
Kepercayaan adalah pangkal tolak perenialisme mengenai kenyataan dan pengetahuan. Artinya sesuatu itu ada kesesuaian antara piker (kepercayaan) dengan benda-benda. Sedang yang dimaksud benda adalah hal-hal yang adanya bersendikan atas prinsip keabadian. Oleh karena itu, menurut perenialisme perlu adanya dalil-dalil yang logis, nalar, sehingga sulit untuk diubah atau ditolak kebenarannya. Menurut Aristoteles, Prinsip-prinsip itu dapat dirinci menjadi:
1)      Principium identitatis, yaitu identitas sesuatu.
Principium contradiksionis (prinsip kontradiksionis), yaitu hukum kontradiksi (berlawanan). Suatu pernyataan pasti tidak mengandung sekaligus kebenaran dan kesalahan, pasti hanya mengandung satu kenyataan yakni benar atau salah.
2)      Principium exelusi tertii (principium ekselusi tertii), tidak ada kemungkinan ketiga. Apabila pernyataan atau kebenaran pertama salah, pasti pernyataan kedua benar dan sebaliknya apabila pernyataan pertama benar pasti pernyataan yang berikutnya tidak benar.
3)      Principium rationis sufisientis. Prinsip ini pada dasarnya mengetengahkan apabila barang sesuatu dapat diketahui asal muasalnya pasti dapat dicari pula tujuan atau akibatnya.
Perenialisme mengemukakan adanya hubungan antara ilmu pengetahuan dengan filsafat. Science sebagai ilmu pengetahuan
Science yang meliputi biologi, fisika, sosiologi, dan sebagainya ialah pengetahuan yang disebut sebagai empiriological analysis yakni analisa atas individual dan peristiwa peristiwa pada tingkat pengalaman dan bersifat alamiah. Science seperti ini dalam pelaksanaan analisa dan penelitiannya mempergunakan metode induktif. Selain itu, juga mempergunakan metode deduktif, tetapi pusat penelitiannya ialah meneliti dan mencoba dengan data tertentu yang bersifat khusus.
Menurut perenialisme, fisafat yang tertinggi ialah ilmu metafisika. Sebab, science dengan metode induktif bersifat empiriological analysis (analisa empiris); kebenarannya terbatas, relatif atau kebenarannya probability. Tetapi filsafat dengan metode deduktif bersifat ontological analysis, kebenaran yang dihasilkannya universal, hakiki, dan berjalan dengan hukum-hukum berpikir sendiri, berpangkal pada hukum pertama; bahwa kesimpulannya bersifat mutlak, asasi. Hubungan filsafat dan pengetahuan tetap diakui urgensinya, sebab analisa empiris dan analisa ontology keduanya dianggap perenialisme dapat komplementatif. Tetapi filsafat tetap dapat berdiri sendiri dan ditentukan oleh hukum-hukum dalam filsafat sendiri, tanpa tergantung kepada ilmu pengetahuan.
  1. Pandangan Mengenai Pendidikan
Teori atau konsep pendidikan perenialisme dilatarbelakangi oleh filsafat-filsafat Plato sebagai Bapak Idealisme Klasik, filsafat Aristoteles sebagai Bapak Realisme Klasik, dan filsafat Thomas Aquina yang mencoba memadukan antara filsafat Aristoteles dengan ajaran Gereja Katolik yang tumbuh pada zamannya.
Plato (427-347 SM), hidup pada zaman kebudayaan yang sarat dengan ketidakpastian, yaitu fisafat sofisme. Ukuran kebenaran dan ukuran moral menurut sofisme adalah manusia secara pribadi, sehingga pada zaman itu tidak ada kepastian dalam moral dan kebenaran, tergantung pada masing-masing individu. Plato berpandangan bahwa realitas yang hakiki itu tetap tidak berubah karena telah ada pada diri manusia sejak dari asalnya. Menurut Plato, dunia idea, yang bersumber dari ide mutlak, yaitu Tuhan. Manusia menemukan kebenaran, pengetahuan, dan nilai moral dengan menggunakan akal atau ratio. Tujuan utama pendidikan adalah membina pemimpin yang sadar akan asas normative dan melaksanakannya dalam semua aspek kehidupan. Masyarakat yang ideal adalah masyarakat adil sejahtera. Manusia yang terbaik adalah manusia yang hidup atas dasar prinsip idea mutlak yaitu suatu prinsip mutlak yang menjadi sumber realitas semesta dan hakikat kebenaran abadi yang transcendental yang membimbing manusia untuk menemukan criteria moral, politik, dan social serta keadilan. Ide mutlak adalah Tuhan.
Menurut Plato manusia secara kodrat memiliki tiga potensi, yaitu nafsu, kemauan, dan akal. Program pendidikan yang ideal adalah berorientasi kepada tiga potensi itu agar kebutuhan yang ada pada setiap lapisan masyarakat dapat terpenuhi. Ide-ide Plato tersebut kemudian dikembangkan lagi oleh Aristoteles yang lebih mendekatkan kepada dunia realita. Tujuan pendidikan menurut aristoteles adalah kebahagiaan. Untuk mecapai tujuan pendidikan ini, aspek fisik, intelek, dan emosi harus dikembangkan secara seimbang, bulat dan totaliltas.
Aristoteles (384-322 SM) adalah murid Plato, namun dalam pemikirannya ia mereaksi terhadap filsafat gurunya, yaitu idealisme. Hasil pemikirannya disebut filsafat realisme. Ia mengajarkan cara berpikir atas prinsip realistis, yang lebih dekat pada alam kehidupan manusia sehari-hari. Menurut Aristoteles, manusia adalah makhluk materi dan rohani sekaligus. Sebagai materi, ia menyadari bahwa manusia dalam hidupnya berada dalam kondisi alam materi dan social. Sebagai makhluk rohani, manusia sadar ia akan menuju pada proses yang lebih tinggi yang menuju kepada manusia ideal.
Perkembangan budi merupakan titik pusat perhatian pendidikan dengan filsafat sebagai alat mencapainya. Ia menganggap penting pula pembentukan kebiasaan pada tingkat pendidikan usia muda dalam menanamkan kesadaran menurut aturan moral. Aristoteles juga menganggap kebahagiaan sebagai tujuan dari pendidikan yang baik. Ia mengembangkan individu secara bulat, totalitas. Aspek-aspek jasmaniah, emosi, dan intelek sama dikembangkan, walaupun ia mengakui bahwa kebahagiaan tertinggi ialah kehidupan berpikir.
Thomas berpendapat bahwa pendidikan adalah menuntun kemampuan-kemampuan yang masih tidur menjadi aktif atau nyata tergantung pada kesadaran tiap-tiap individu.
Kaum perenialis juga percaya bahwa dunia alamiah dan hakikat manusia pada dasarnya tetap tidak berubah selam berabad-abad : jadi, gagasan-gagasan besar terus memiliki potensi yang paling besar untuk memecahkan permasalahan permasalahan di setiap zaman. Selain itu, filsafat perenialis menekankan kemampuan-kemampuan berpikir rasional manusia sehingga membedakan mereka dengan binatang-binatang lain.
  1. Pandangan Mengenai Belajar
Teori dasar dalam belajar menurut perenialisme adalah:
1)      Mental disiplin sebagai teori dasar
Penganut perenialisme sependapat bahwa latihan dan pembinaan berpikir (mental discipline) adalah salah satu kewajiban tertinggi dari belajar, atau keutamaan dalam proses belajar (yang tertinggi). Karena itu teori dan program pendidikan pada umumnya dipusatkan kepada pembinaan kemampuan berpikir.
2)      Rasionalitas dan Asas Kemerdekaan.
Asas berpikir dan kemerdekaan harus menjadi tujuan utama pendidikan, otoritas berpikir harus disempurnakan sesempurna mungkin. Kemerdekaan pendidikan ialah membantu manusia untuk menjadi dirinya sendiri, be him-self, sebagai essential-self yang membedakannya daripada makhluk-makhluk lain. Fungsi belajar harus diabdikan bagi tujuan ini, yaitu aktualitas manusia sebagai makhluk rasional yang dengan itu bersifat merdeka.
3)        Learning to Reason (Belajar untuk Berpikir)
Perenialisme tetap percaya dengan asas pembentukan kebiasaan dalam permulaan pendidikan anak. Kecakapan membaca, menulis dan berhitung merupakan landasan dasar. Dan berdasarkan pentahapan itu, maka learning to reason menjadi tujuan pokok pendidikan sekolah menengah dan pendidikan tinggi.
4)    Belajar sebagai Persiapan Hidup
Bagi Thomisme, belajar untuk berpikir dan belajar untuk persiapan hidup (dalam masyarakat) adalah dua langkah pada jalan yang sama, yakni menuju kesempurnaan hidup, kehidupan duniawi menuju kehidupan surgawi.
5)    Learning through Teaching (belajar melalui pengajaran)
Adler membedakan antara learning by instruction dan learning by discovery, penyelidikan tanpa bantuan guru. Dan sebenarnya learning by instruction adalah dasar dan menuju learning by discovery, sebagai self education. Menurut perenialisme, tugas guru bukanlah perantara antara dunia dengan jiwa anak, melainkan guru juga sebagai murid yang mengalami proses belajar sementara mengajar. Guru mengembangkan potensi-potensi self discovery; dan ia melakukan moral authority atas murid-muridnya, karena ia adalah seorang profesional yang qualified dan superior dibandingkan muridnya. 
Dalam rangka usaha mencapai efisiensi dalam belajar, mengerakkan koginsi (pengetahuan), aafektif (merasa) dan konasi (berbuat), merupakan kegiatan yang perlu mendapat perhatian yang cukup. Belajar dapat dibedakan menjadi dua, yaitu belajar karena pengajaran dan belajar karena penemua. Untuk yang pertama, adalah guru membetikan penerangan atau pengetahuan, juga mengadakan pencerahan. Pencerahan ini dapat dilakukan dengan jalan menunjukkan dan menafsirkan implikasi dari pengetahuan dan ilmu yang diberikan. Untuk tipe belajar yang kedua tidak lagi memerlukan guru. Siswa diharapkan telah dapat belajar atas kemampuannya sendiri (Imam Bernadib, 1997: 77-78).
5.      Pandangan Perenialisme dalam Penerapannya di Bidang Pendidikan
Ilmu pengetahuan merupakan filsafat yang tertinggi menurut perenialisme, karena dengan ilmu pengetahuanlah seseorang dapat berpikir secara induktif yang bersifat analisa. Jadi dengan berpikir maka kebenaran itu akan dapat dihasilkan melalui akal pikiran. Menurut epistemologi Thomisme sebagian besarnya berpusat pada pengolahan tenaga logika pada pikiran manusia. Apabila pikiran itu bermula dalam keadaan potensialitas, maka dia dapat dipergunakan untuk menampilkan tenaganya secara penuh.
Jadi epistemologi dari perenialisme, harus memiliki pengetahuan tentang pengertian dari kebenaran yang sesuai dengan realita hakiki, yang dibuktikan dengan kebenaran yang ada pada diri sendiri dengan menggunakan tenaga pada logika melalui hukum berpikir metode deduksi, yang merupakan metode filsafat yang menghasilkan kebenaran hakiki, dan tujuan dari epistemologi perenialisme dalam premis mayor dan metode induktifnya sesuai dengan ontologi tentang realita khusus. 
Menurut perenialisme tugas utama pendidikan adalah mencerdaskan anak didik. Salah satu untuk mencerdaskan anak didik adalah dengan mempersiapkan diri anak mulai dasar. Persiapan dasar ini diperoleh dari pengetahuan tradisional seperti membaca, menulis dan berhitung.
Di samping mendapatkan pengetahuan dasar, anak didik juga diharapkan memiliki etika atau moral atau budi pekerti yang mulia yang sesuai dengan agama atau kepercayaan masing-masing. Dimana setiap agama akan memerintahkan hidup mulia, hidup dengan berprilaku baik terhadap sesama, masyarakat, guru maupun orang tua. Akan tetapi dewasa ini telah terjadi krisis moral yang luar biasa yang menyebabkan anak didik berjalan semaunya sendiri tanpa melihat dasar-dasar atau prinsip-prinsip moral yang berlandaskan ajaran agama masing-masing. Dengan melihat kondisi ini maka kita perlu belajar ke masa lalu dimana para anak didik dengan hormatnya dan penuh rasa tanggung jawab terhadap tugasnya masing-masing. Prinsip inilah yang diinginkan oleh perenialisme.
Menurut perenialisme penguasaan pengetahuan mengenai prinsip-prinsip perenialisme adalah modal bagi seseorang untuk mengembangkan pikiran dan kecerdasan. Prinsip-prinsip pertama mampu mempunyai pengetahuan sedemikian, karena telah memiliki evidensi diri sendiri. Dengan pengetahuan, bahan penerangan yang cukup, orang akan mampu mengenal faktor-faktor dengan pertautannya masing-masing memahami problema yang perlu diselesaikan dan berusaha untuk mengadakan penyelesaian masalahnya. Dengan demikian ia telah mampu mengembangkan suatu paham.
Anak didik yang diharapkan menurut perenialisme adalah mampu mengenal dan mengembangkan karya-karya yang menjadi landasan pengembangan disiplin mental. Karya-karya ini merupakan buah pikiran tokoh-tokoh besar pada masa lampau. Berbagai buah pikiran mereka yang oleh zaman telah dicatat menonjol dalam bidang-bidang seperti bahasa dan sastra, sejarah, filsafat, politik, ekonomi, matematika, ilmu pengetahuan alam dan lain-lainnya, telah banyak yang mampu memberikan ilmunisasi zaman yang sudah lampau. Dengan mengetahui tulisan yang berupa pikiran dari para ahli yang terkenal tersebut, yang sesuai dengan bidangnya maka anak didik akan mempunyai dua keuntungan yakni:
a.       Anak-anak akan mengetahui apa yang terjadi pada masa lampau yang telah dipikirkan oleh orang-orang besar.
b.      Mereka memikirkan peristiwa-peristiwa penting dan karya­-karya tokoh-tokoh tersebut untuk diri sendiri dan sebagai bahan pertimbangan (reverensi) zaman sekarang.
Jelaslah bahwa dengan mengetahui dan mengembangkan pemikiran karya-karya buah pikiran para ahli tersebut pada masa lampau, maka anak-anak didik dapat mengetahui bagaimana pemikiran para ahli terse­but dalam bidangnya masing-masing dan dapat mengetahui bagaimana peristiwa pada masa lampau tersebut sehingga dapat berguna bagi diri mereka sendiri, dan sebagai bahan pertimbangan pemikiran mereka pada zaman sekarang ini. Hal inilah yang sesuai dengan aliran filsafat pereni­alisme tersebut.
Tugas utama pendidikan adalah mempersiapkan anak didik ke arah kemasakan. Masak dalam arti hidup akalnya. Jadi akal inilah yang perlu mendapat tuntunan ke arah kemasakan tersebut. Sekolah rendah memberikan pendidikan dan pengetahuan serba dasar. Dengan pengetahuan yang tradisional seperti membaca, menulis dan berhitung anak didik memperoleh dasar penting bagi pengetahuan-pengetahuan yang lain.
Perenialisme memandang kebenaran sebagai hal yang konstan, abadi, atau perennial. Tujuan dari pendidikan menurut pemikiran perennialis, adalah memastikan bahwa para siswa memperoleh pengetahuan tentang prinisip-prinsip atau gagasan-gagasan besar yang tidak berubah. Lebih jauh lagi, filsafat perennialis menekankan kemampuan berfikir rasional manusia. 
Sekolah sebagai tempat utama dalam pendidikan yang mempersiapkan anak didik ke arah kemasakan melalui akalnya dengan memberikan pengetahuan. Sedangkan sebagai tugas utama dalam pendidikan adalah guru-guru, di mana tugas pendidikanlah yang memberikan pendidikan dan pengajaran (pengetahuan) kepada anak didik. Faktor keberhasilan anak dalam akalnya sangat tergantung kepada guru, dalam arti orang yang telah mendidik dan mengajarkan.
Adapun mengenai hakikat pendidikan tinggi ini, Robert Hutchkins mengutarakan lebih lanjut, bahwa kalau pada abad pertengahan filsafat teologis, sekarang seharusnya bersendikan filsafat metafisika. Filsafat ini pada dasarnya adalah cinta intelektual dari Tuhan. Di samping itu, dikatakan pula bahwa karena kedudukan sendi-sendi tersebut penting maka perguruan tinggi tidak seyogyanya bersifat utilistis.
Dari ungkapan yang diutarakan oleh Robert Hutchkins di atas mengenai hakikat pendidikan tinggi itu, jelaslah bahwa pendidikan tinggi sekarang ini hendaklah berdasarkan pada filsafat metafisika yaitu filsafat yang berdasarkan cinta intelektual dari Tuhan. Kemudian Robert Hutchkins mengatakan bahwa oleh karena manusia itu pada hakikatnya sama, maka perlulah dikembangkan pendidikan yang sama bagi semua orang, ini disebut pendidikan umum (general education). Melalui kurikulum yang satu serta proses belajar yang mungkin perlu disesuaikan dengan sifat tiap individu, diharapkan tiap individu itu terbentuk atas dasar landasan kejiwaan yang sama.
Kurikulum menurut kaum perennialis harus menekankan pertumbuhan intelektual siswa pada seni dan sains. Untuk menjadi terpelajar secara kultural, para siswa harus berhadapan bidang-bidang (seni dan sains) yang merupakan karya terbaik dan paling signifikan yang diciptakan manusia. Dari dua pendukung filsafat perennialis adalah Robet Maynard Hutchins, dan Mortimer Adler. Sebagai Rektor the University of Chicago, Hutchins (1963) mengembangkan suatu kurikulum mahasiswa S1 berdasarkan penelitiaan terhadap Buku Besar bersejarah (Great Books) dan pembahasan buku-buku klasik. Kegiatan ini dilakukan dalam seminar-seminar kecil. Kurikulum perennialis Hutchisn di dasarkan pada tiga asumsi mengenai pendidikan:
            1)      Pendidikan harus mengangkat pencarian kebenaran manusia yang berlangsung terus-menerus. Kebenaran apapun akan selalu benar di manapun juga, jadi kebenaran bersifat universal dan tak terikat waktu.
            2)      Karena kerja pikiran adalah bersifat intelektual dan memfokuskan pada gagasan-gagasan, pendidikan juga harus memfokuska pada gagasan-gagasan. Pengolahan rasionalitas manusia adalah fungsi penting pendidikan.
            3)      Pendidikan harus menstimulus para peserta didik untuk berfikir secara mendalam mengenai gagasan-gagasan signifikan. Para guru harus menggunakan pemikiran yang benar dan kritis seperti metode pokok mereka, dan mereka harus mensyaratkan hal yang sama pada siswa.
Menurut Jacques Maritain (Imam Bernadib, 1997: 74-75)  hal yang menjadi pijakan pendidikan adalah:
1)      Cinta akan kebenaran. Ini adalah tendensi utama dari intelek manusia.
2)      Cinta akan kebaikan dan keadilan. Inipun semuanya sesuai dengan sifat wajar manusia.
3)      Kesederhanaan dan sifat terbuka terhadap eksintensi. Yang dimakasud disini adalah sikap yang wajar dari seseorang bahwa ia itu ada sebagai makhluk.
4)      Cinta akan kerja sama.
Dalam praktik pendidikan, perlu adanya norma-norma fundamental dalam pendidikan. Norma-norma tersebut adalah, yaitu:
1)      Perlu diusahakan agar disposisi tersebut di atas dapat tumbuh sebaik-baiknya dalam jiwa anak. Agar tendensi-tendensi tersebut mendapat pengaruh yang baik dalam pendidikan maka perlu dilaksanakan dengan iluminasi dan pemberian semangat mengenai segala kebaikan.
2)      Pengaruh pendidikan hendaklah diusahakan agar meresap ke dalam pribadi anak. Cara-cara pelaksanaan untuk ini adalah sebagai berikut: mula-mula mengikuti adanya perhatian spontan dan kecenderungan-kecenderungan wajar yang ada pada anak. Dengan melatih akal dan ingatan sebaik-baiknya dengan cerita-cerita yangmengandung ajaran yang dalam, pendidikan berusaha agar pribadi anak didik mampu mengadakan adesi dengan realita. Hendaklah diusahakan agar pengetahuan yang diberikan kepada anak didik itu dipilihh sedemikian agar adesi dapat berlangsung sebaik-baiknya.
3)      Pendidikan dan pengajaran adalah sarana untuk mewujudkan kebulatan (kesatuan) jiwa manusia dalam pribadi yang bulat dan seimbang pula. Pendidikan dan pengajaran perlu mempunyai implikasi dengan pengalaman dan menempatkan pendidikan intelek sebagai prioritas utama.
4)      Tujuan pengajaran adalah agar anak didik dengan akalnya dapat menguasai apa yang dipelajari. Dengan demikian ia tidak berada di dalam ikatan pekerjaannya, tetapi justru di atasnya.
Menurut Redja Mudyahardjo (2002:167-168) pandangan perenialisme tentang penerapan pendidikan antara lain mencakup:
a.       Tujuan pendidikan
Tujuan pendidikan adalah membantu anak untuk menyingkap dan menanamkan kebenaran-kebenaran hakiki. Oleh karena itu kebenaran-kebenaran tersebut universal dan konstan, maka kebenaran-kebenaran tersebut hendaknya menjadi tujuan-tujuan pendidikan yang murni. Kebenaran-kebenaran hakiki dapat dicapai dengan sebaik-baiknya melalui: a) latihan intelektual secara cermat untuk melatih pikiran dan b) latihan karakter sebagai suatu cara mengembangkan manusia spiritual.
b.      Metode pendidikan
Latihan metal dalam bentuk diskusi, analisa buku melalui pembacaan buku-buku yang tergolong karya besar.
c.       Kurikulum
Kurikulum berpusat pada mata pelajaran dan cenderung menitikberatkan pada: sastra, matematika, bahasa, dan humaniora, termasuk sejarah.
d.      Pelajar
Pelajar adalah makhluk rasional yang dibimbing oleh prinsip-prinsip pertama, kebenaran abadi, dan pikiran mengangkat dunia biologis.
e.       Pengajar/Guru
Guru mempunyai peranan dominan dalam penyelenggaran kegiatan belajar mengajar di kelas. Guru hendaknya adalah orang yang ahli bertugas membimbing diskusiyang akan memudahkan siswa menyimpulkan kebenaran-kebenaran yang tepat dan wataknya tanpa cela. Guru dipandang sebagai orang yang mempunyai otoritas dalam suatu bidang pengetahuan dan keahliannya tidak diragukan.


BAB III
PENUTUP

1.      Kesimpulan
 Berdasarkan uraian di atas maka dapat disimpulkan bahwa:
a.    Perenialisme berasal dan kata perenial yang diartikan sebagai abadi atau kekal dan dapat berarti pula tiada akhir. Esensi kepercayaan filsafat perenialisme adalah berpegang pada nilai-nilai atau norma-norma yang bersifat abadi.
b.    Prinsip-prinsip pendidikan perenialisme adalah sebagai berikut:
1)        Walaupun perbedaan lingkungan, namun pada hakikatnya manusia dimana pun dan kapan pun ia berada adalah sama
2)        Rasio merupakan atribut  manusia yang paling tinggi.
3)        Tugas pendidikan adalah memberikan pengetahuan tentang kebenaran yang pasti, dan abadi.
4)        Pendidikan bukan merupakan peniruan dari hidup, melainkan merupakan suatu persiapan untuk hidup.
5)        Siswa seharusnya mempelajari karya-karya besar
c.    Pandangan perenialisme mengenai kenyataan, nilai, pengetahuan, belajar, dan pendidikan
1)        Pandangan perenialisme mengenai kenyataan
Perenialisme berpendapat bahwa apa yang dibutuhkan manusia terutama ialah jaminan bahwa realita itu bersifat universal dan ada di mana saja dan sama di setiap waktu.
2)        Pandangan Mengenai Nilai
Perenialisme berpandangan bahwa persoalan nilai adalah persoalan spiritual, sebab hakikat manusia adalah pada jiwanya.
3)        Pandangan Mengenai Pengetahuan
Menurut perenialisme perlu adanya dalil-dalil yang logis, nalar, sehingga sulit untuk diubah atau ditolak kebenarannya. Pandangan Mengenai Pendidikan
4)        Pandangan Mengenai Belajar
Teori dasar dalam belajar menurut perenialisme adalah: mental disiplin sebagai teori dasar, rasionalitas dan asas kemerdekaan, learning to reason (belajar untuk berpikir), belajar sebagai persiapan hidup, learning throught teaching (belajar melalui pengajaran)
d.   Pandangan Perenialisme dalam Penerapannya di Bidang Pendidikan
1)        Tujuan pendidikan
Tujuan pendidikan adalah membantu anak untuk menyingkap dan menanamkan kebenaran-kebenaran hakiki.
2)        Metode pendidikan
Latihan metal dalam bentuk diskusi, analisa buku melalui pembacaan buku-buku yang tergolong karya besar.
3)        Kurikulum
Kurikulum berpusat pada mata pelajaran dan cenderung menitikberatkan pada: sastra, matematika, bahasa, dan humaniora, termasuk sejarah.
4)        Pelajar
Pelajar adalah makhluk rasional yang dibimbing oleh prinsip-prinsip pertama, kebenaran abadi, dan pikiran mengangkat dunia biologis.
5)        Pengajar/Guru
Guru mempunyai peranan dominan dalam penyelenggaran kegiatan belajar mengajar di kelas. Guru dipandang sebagai orang yang mempunyai otoritas dalam suatu bidang pengetahuan dan keahliannya tidak diragukan.
2.      Saran
Tidak selamanya atau tidak semuanya pandangan modern baik untuk pendidikan, akan tetapi kita tetap perlu melihat kondisi masa lalu yang dianggap tradisional atau klasik. Pengetahuan dasar tradisional seperti belajar membaca, berhitung, budi pekerti (akhlakul karimah) perlu diberikan kepada anak didik di zaman modern agar tujuan pendidikan dapat tercapai.

DAFTAR PUSTAKA


Bernadib, Imam. 1997. Filsafat Pendidikan: Sistem dan Metode. Yogyakarta: Andi Yogyakarta.

Barnadib, Imam. 2002. Filsafat Pendidikan.Yogyakarta: AdiCipta.

Jalaluddin. 1997. Filsafat Pendidikan, Jakarta: Gaya Media.

Mudyahardjo, Redja. 2002. Pengantar Pendidikan. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.

Uyoh, Sadullah. 2004. Pengantar Filsafat Pendidikan. Bandung: Al Fabeta.

Noor, Muhammad, Syam. 1988. Filsafat Pendidikan. Surabaya: Usaha Nasional.






Tidak ada komentar: