website lpmp

Selasa, 19 Juni 2012

ESENSIALISME

FILSAFAT PENDIDIKAN "ALIRAN ESENSIALISME"

A.      Pengertian Essensialisme
Essensialisme adalah pendidikan yang didasarkan pada nilai-nilai kebudayaan yang sudah ada sejak awal pradaban umat manusia. Esensialisme muncul pada zaman renaisance. Aliran ini memberikan dasar berpijak pada pendidikan yang penuh fleksibilitas terbuka untuk perubahan, toleransi, dan tidak ada keterkaitan dengan doktrin tertentu. Filsafat ini memandang pendidikan harus berpijak pada nilai-nilai yang memiliki kejelasan dan tahan lama dan tata yang jelas, yang memberikan kestabilan. Puncak refleks gagasan ini adalah pada pertengahan kedua abad ke-19.
Renaisance merupakan pangkal sejarah timbulnya konsep-konsep pikir. Tujuan umum aliran esensialisme adalah membentuk prribadi yang bahagia di dunia dan akhirat, isi pendidikanya mencakup ilmu pengetahuan, kesenian dan segala hal yang mampu menggerakan segala kehendak manusia. Kurikulum sekolah bagi aliran ini semacam miniatur dunia yang bisa dijadikan ukuran kenyataan, kebenaran, dan keagungan. Salah satu tokoh dari aliran ini adalah Hegel, Robert Ulich, dan Butler.
Esensialisme berpendapat bahwa dunia ini dikuasai oleh tata yang tiada cela yang mengatur dunia beserta isinya dengan tiada cela pula. Esensialisme didukung oleh idealisme modern yang mempunyai pandangan yang sistematis mengenai alam semesta tempat manusia berada.


Adapun dasar filosofis dari aliran ini bahwa esensialisme merupakan gerakan pendidikan yang bertumpu pada mazhab filsafat idealisme dan realisme. Meskipun aliran idealis dan realis berbeda pandangan filsafatnya, mereka sepaham bahwa (a) hakekat manusia yang mereka anut memberi makna pendidikan bahwa anak harus menggunakan kebebasannya dan memerlukan disiplin orang dewasa untuk membantu dirinya sebelum dia sendiri dapat mendisiplinkan dirinya, (b) manusia dalam memilih suatu kebenaran untuk dirinya sendiri dan lingkungan hidupnya mengandung makna penidikan bahwa generasi muda perlu belajar untuk mengembangkan diri setinggi-tingginya dan kesejahteraan sosia

B.       Ciri-Ciri Aliran Esensialisme
Esesnsialisme berpendapat bahwa dunia ini dikuasai oleh tata yang tiada cela yang mengatur dunia beserta isinya dengan tiada cela pula. Esensialisme didukung oleh idealisme modern yang mempunyai pandangan yang sistematis mengenai alam semesta tempat manusia berada.
Esensialisme juga didukung oleh idealisme subjektif yang berpendapat bahwa alam semesta itu pada hakikatnya adalah jiwa/spirit dan segala sesuatu yang ada ini nyata ada dalam arti spiritual. Realisme berpendapat bahwa kualitas nilai tergantung pada apa dan bagaimana keadaannya, apabila dihayati oleh subjek tertentu, dan selanjutnya tergantung pula pada subjek tersebut.
Ciri-ciri lainnya:
1.  Berkaitan dengan hal-hal esensial atau mendasar yang seharusnya manusia tahu dan menyadari sepenuhnya tentang dunia di mana mereka tinggal dan juga bagi kelangsungan hidupnya.
2.    Konsentrasi studi pada materi-materi dasar tradisional seperti: membaca, menulis, sastra, bahasa asing, matematika, sejarah, sains, seni, dan musik.
3.    Pola orientasinya bergerk dari skill dasar menuju skill yang bersifat semakin kompleks.
4.    Yakin pada pengetahuan untuk kepentingan pengetahuan itu sendiri.
Disiplin mental diperlukan untuk mengkaji informasi mendasar tentang dunia yang dialami serta tertarik pada kemajuan masyarakat teknis

C.      Hubungan Essensialisme dengan Pendidikan
Orientasi pendidikan yang akhirnya menjadi aliran filsafat pendidikan ini timbul pada awal tahun 1930-an, yaitu sejak dunia barat, khususnya Amerika Serikat, menjadi negara-negara yang kehidupan masyarakatnya dilingkupi oleh teknologi dan industrialisasi.
Esensialisme juga didukung oleh idealisme subjektif yang berpendapat hahwa alam semesta itu pada hakikatnya adalah jiwa/spirit dan segala sesuatu yang ada ini nyata ada dalam arti spiritual. Realisme berpendapat bahwa kualitas nilai tergantung pada apa dan bagaimana keadaannya, apabila dihayati oleh subjek tertentu, dan selanjutnya tergantung pula pada subjek tersebut.
Menurut idealisme, nilai akan menjadi kenyataan (ada) atau disadari oleh setiap orang apabila orang yang bersangkutan berusaha untuk mengetahui atau menyesuaikan diri dengan sesuatu yang menunjukkan nilai kepadanya dan orang itu mempunyai pengalaman emosional yang berupa pemahaman dan perasaan senang tak senang mengenai nilai tersehut. Menunut realisme, pengetahuan terbentuk berkat bersatunya stimulus dan tanggapan tertentu menjadi satu kesatuan. Sedangkan menurut idealisme, pengetahuan timbul karena adanya hubungan antara dunia kecil dengan dunia besar. Esensialisme berpendapat bahwa pendidikan haruslah bertumpu pada nilai- nilai yang telah teruji keteguhan, ketangguhan, dan kekuatannya sepanjang masa.
Hubungan esensialisme dengan pendidikan adalah sebagai berikut:.
1.    Ruang Lingkup      : semua jenjang dan jalur sama bagi semua peserta didik.
2.    Sifat                      :
a.       Seimbang, baik kurikulum maupun prosesnya.
b.  Kurikulum yang seimbang ialah yang mengandung esensi dari ilmu-ilmu atau pengetahuan yang diberikan kepada peserta didik.
c.       Dalam proses pendidikan, peran utama (authority) dipegang oleh guru atau pendidik.
3.    Pendidikan Tinggi  :
a.       tiada kecuali, terbuka bagi semuanya.
b.      Dalam proses pendidikan, peran utama (authority) dipegang oleh pendidik atau pengajar.

D.      Pola Dasar Pendidikan Essensialisme
1.         Analisa dan Penafsiran:
Bahwa tidak semua teori pendidikan essensialisme selalu langsung berasal dari filsafat essensialisme. Meskipun secara umum prinsip-prinsip utama filsafat konsisten dengan teori pendidikannya, namun essensialis percaya bahwa dalam pelaksanaan pendidikan diperlukan modifikasi, pelengkap, bahkan penyimpangan (deviasi) dari ajaran-ajaran filosof tokoh dadar teori yang murni, tetapi prakteknya memerlukan adaptasi dengan kondisi tertentu. Tidak semua idealis dan realis dapat digolongkan essensialis dalam prinsip pendidikan. Namun essensialis merupakan pemahaman yang bersumber kepada pendekatan idealis dan realis atau kombinasi kedua aliran itu.
2.        Pola Dasar Pendidikan Essentialisme
Pola asasi pendidikan essentialisme hanyalah berhubungan dengan teori dasar pendidikan. Sebab, soal-soal praktek pendidikannya adalah masalah praktis yang disesuaikan dengan kondisi yang insidental.
3.         Pendidikan
Adapun pandangan tentang pendidikan dari tokoh pendidikan Renaisans yang pertama adalah Johan Amos Cornenius (1592 – 1670), yaitu agar segala sesuatu diajarkan melalui indra, karena indra adalah pintu gerbangnya jiwa. Tokoh kedua adalah Johan Frieddrich Herbart (1776 – 1841) yang mengatakan bahwa tujuan pendidikan adalah menyesuaikan jiwa seseorang dengan kebajikan Tuhan. Artinya, perlu ada penyesuaian dengan hukum kesusilaan. Proses untuk mencapai tujuan pendidikan itu oleh Herbart disebut sebagai pengajaran.
Tokoh ketiga adalah William T. Harris (1835 – 1909) yang berpendapat bahwa tugas pendidikan adalah menjadikan terbukanya realitas berdasarkan susunan yang tidak terelakkan dan bersendikan kesatuan spiritual. Sekolah adalah lembaga yang memelihara nilai-nilai yang telah turun-temurun, dan menjadi penuntun penyesuaian orang pada masyarakat.
Dari pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa aliran esensialisme menghendaki agar landasan pendidikan adalah nilai-nilai esensial, yaitu yang telah teruji oleh waktu, bersifat menuntun, dan telah turun-temurun dari zaman ke zaman sejak zaman (renaisans).
Essensialisme mempunyai tinjauan mengenai pendidikan yang berbeda dengan progressifisme. Kalau progressifisme menganggap bahwa banyak hal yang mempunyai sifat yang serba fleksibel dan nilai-nilai yang dapat berubah serta berkembang, essensialisme menganggap bahwa dasar pijak semacam ini kurang tepat. Dalam pendidikan, fleksibilitas dalam segala bentuk dapat menjadikan timbulnya pandangan yang berubah-ubah, pelaksanaan yang kurang stabil dan tidak menentu.
Pendidikan yang bersendikan tata nilai-nilai yang bersifat demikian ini dapat menjadikan pendidikan itu sendiri kehilangan arah. Dengan demikian, pendidikan haruslah bersendikan pada nilai-nilai yang dapat mendatangkan stabilitas. Agar dapat terpenuhi maksud tersebut nilai-nilai itu perlu dipilih agar mempunyai tata yang jelas dan yang telah teruji oleh wktu. Dengan demikian, prinsip essensialisme menghendaki agar landasan-landasan pendidikan adalah nilai-nilai yang essensial dan bersifat menuntun.
Essensialisme menekankan pentingnya pewarisan budaya dan pemberian pengetahuan dan keterampilan pada peserta didik agar dapat menjadi anggota masyarakat yang berguna. Matematika, sains, dan mata pelajaran lainnya dianggap sebagai dasar-dasar substansi kurikulum yang berharga untuk hidup di masyarakat. Sama halnya dengan perenialisme, essesialisme juga lebih berorientasi pada masa lalu.

E.       Pengertian Kurikulum Terhadap Aliran Esensialisme
Dalam banyak literatur kurikulum diartikan sebagai suatu dokumen atau rencana tertulis mengenai kualitas pendidikan yang harus dimiliki oleh peserta didik melalui suatu pengalaman belajar. Pengertian ini mengandung arti bahwa kurikulum harus tertuang dalam satu atau beberapa dokumen atau rencana tertulis. Dokumen atau rencana tertulis itu berisikan pernyataan mengenai kualitas yang harus dimiliki oleh seorang peserta didik yang mengikuti kurikulum tersebut. Pengerian kualitas pendidikan di sini mengandung makna bahwa kurikulum sebagai dokumen merencanakan kualitas hasil belajar yang harus dimiliki oleh peserta didik, kualitas bahan/konten pendidikan yang harus dipelajari peserta didik, kualitas proses pendidikan yang harus dialami peserta didik. Kurikulum dalam bentuk fisik ini seringkali menjadi fokus utama dalam setiap proses pengembangan kurikulum karena ia menggambarkan idea atau pemikiran para pengambil keputusan yang digunakan sebagai dasar bagi pengembangan kurikulum sebagai suatu pengalaman.
Aspek yang tidak terungkap secara jelas tetapi tersirat dalam definisi kurikulum sebagai dokumen adalah bahwa rencana yang dimaksudkan dikembangkan berdasarkan suatu pemikiran tertentu tentang kualitas pendidikan yang diharapkan. Perbedaan pemikiran atau ide akan menyebabkan terjadinya perbedaan dalam kurikulum yang dihasilkan, baik sebagai dokumen maupun sebagai pengalaman belajar. Oleh karena itu Olivia (1997:12) mengatakan “curriculum itself is a construct or concept, a verbalization of an extremely complexidea or set of ideas”.
Selain kurikulum diartikan sebagai dokumen, para ahli kurikulum mengemukakan berbagai definisi kurikulum yang tentunya dianggap sesuai dengan konstruk kurikullum yang ada pada dirinya.
Perbedaan pendapat para ahli didasarkan pada isu berikut ini:
1.    Filosofi kurikulum
2.    Ruang lingkup komponen kurikulum.
3.    Polarisasi kurikulum kegiatan belajar.
4.    Posisi evaluasi dalam pengambangan kurikulum.
Dalam istilah yang digunakan Tanner dan Tanner (1980: 104) esensialisme memandang kurikulum sebagai rencana untuk mengembangkan “academic excellence and cultivation of intellect”. Bagi esensialisme beranggapan bahwa kurikulum haruslah mengembangkan “modern needs through the fundamental academic disciplines of Englingsh, mathematics, science, history, and modern languages” (Tanner dan Tanner, 109: 109).
Dengan transfer dan transmisi maka kurikulum menjadi suatu fokus pendidikan yang ingin mengembangkan pada diri peserta didik apa yang sudah terjadi dan berkembang di masyarakat. Kurikulum tidak menempatkan peserta didik sebagai subjek yang mempersiapkan dirinya bagi kehidupan masa datang tetapi harus mengikuti berbagai hal yang diangggap berguna berdasarkan apa yang dialami oleh orang tua mereka. Dalam konteks ini maka disiplin ilmu memiliki posisi sentral yang menonjol dalam kurikulum. Kurikulum dan pendidikan, haruslah mentransfer berbagai disiplin ilmu sehingga peserta didik menjadi warga masyarakat yang dihormati. Teori tentang IQ bekerja untuk terutama intelektualitas dalam pengetian disiplin ilmu kaena logis yang dikembangkan dalam tes IQ adalah logis disiplin ilmu dan secara lebih khusus adalah logika matematika. Oleh karena itu tidaklah salah dikatakan bahwa matematika adalah dasar pengembangan pendidikan logika. 
Gambaran serupa disajikan oleh Jacobs(1999) yang membahas mengenai kurikulum di Afrika. Hal ini amat dipahami jika kurikulum diartikan dari pandangan kependidikan yang menempatkan ilmu atau disiplin ilmu diatas segalanya (perennialisme ataupun esensialisme). Jacobs (1999: 100), Longstreet dan Shane (1993), Print (1993), Olivia (1997). Banyak kecaman terhadap pengertian kurikulum yang dikembangkan dari pandangan filosofis ini walaupun dalam kenyataannya masih banyak orang dan pengambil kebijakan yang menganut pandangan ini. Kurikulum di Indonesia masih didominasi oleh pandangan ini. Konten kurikulum dalam pandangan ini adalah materi yang dikembangkan dari disiplin ilmu, tujuan adalah penguasaan konsep, teori, atau hal yang terkait dengan disiplin ilmu.
Beberapa tokoh idealisme memandang bahwa kurikulum itu hendaklah berpangkal pada landasan idiil dan organisasi yang kuat. Herman Harrel Horne dalam bukunya mengatakan bahwa hendaknya kurikulum itu bersendikan alas fundamen tunggal, yaitu watak manusia yang ideal dan ciri-ciri masyarakat yang ideal. Kegiatan dalam pendidikan perlu disesuaikan dan ditujukan kepada yang serba baik. Atas ketentuan ini kegiatan atau keaktifan anak didik tidak terkekang, asalkan sejalan dengan fundamen-fundamen yang telah ditentukan.
Bogoslousky, mengutarakan di samping menegaskan supaya kurikulum dapat terhindar dari adanya pemisahan mata pelajaran yang satu dengan yang lain, kurikulum dapat diumpamakan sebagai sebuah rumah yang mempunyai empat bagian:
1.      Universum
Pengetahuan merupakan latar belakang adanya kekuatan segala manifestasi hidup manusia. Diantaranya adalah adanya kekuatan-kekuatan alam, asal usul tata surya dan lain-Iainnya. Basis pengetahuan ini adalah ilmu pengetahuan alam kodrat yang diperluas.
2.      Sivilisasi:
Karya yang dihasilkan manusia sebagai akibat hidup masyarakat. Dengan sivilisasi manusia mampu mengadakan pengawasan tcrhadap lingkungannya, mengejar kebutuhan, dan hidup aman dan sejahtera 
3.      Kebudayaan:
Kebudayaan merupakan karya manusia yang mencakup di antaranya filsafat, kesenian, kesusasteraan, agama, penafsiran, dan penilaian mengenai lingkungan.
4.      Kepribadian:
Bagian yang bertujuan pembentukan kepribadian dalam arti riil yang tidak bertentangan dengan kepribadian yang ideal. Dalam kurikulum hendaklah diusahakan agar faktor-faktor fisik, fisiologi, emosional dan ientelektual sebagai keseluruhan, dapat berkembang harmonis dan organis, sesuai dengan kemanusiaan ideal

Tidak ada komentar: